29 Oktober 2010

The pre-historic flesh-eating fishes in 3D

@Puri XXI, studio 6, Oct 29th 2010, 1920 hrs

Piranha... entah sudah berapa banyak film tentang ikan purba ini pernah dibuat untuk konsumsi tivi dan layar lebar. Yg jelas film produksi 2010 yg disutradarai Alexander Aja ini mempunyai alur cerita yg sangat simpel dan mudah ditebak, tidak perlu berpikir, cukup dengan menikmati minuman dan makanan Anda, tapi jangan kekenyangan, bisa jadi Anda muntah karena eksploitasi adegan "kanibal" yg dilakukan oleh ikan-ikan piranha terhadap manusia.

Terjadi aktivitas seismik (istilah kerennya gempa) di dasar danau Victoria yg menyebabkan terbukanya jalan penghubung ke "danau lain" yg dihuni ribuan ikan piranha, ikan yg dianggap punah sejak 2 juta tahun lalu. Tidak jauh dari sana, ratusan anak muda berpesta dan berkumpul untuk liburan musim semi. Sementara itu sheriff Julie (Elisabeth Shue) yg bertugas untuk "mengamankan" pesta musim semi itu langsung memperingatkan para anak muda untuk segera keluar dari danau, setelah dia mengetahui kejadian yg sebenarnya.

Ada pula produser situs internet porno yg diperankan Jerry O'connel dengan personilnya "Wild girls"nya, Danni dan Crystal yg mengadakan suting di danau tersebut, tanpa menyadari kehadiran ikan-ikan tersebut.

Well, siapakah yg menjadi korban dari ikan-ikan tersebut memang tidak penting. Gua menyebut film ini sebagai exploitative fun-gore movie. Dua hal yg dieksploitasi habis-habisan di sini tanpa rasa bersalah yakni adegan potongan tubuh manusia yg dimangsa oleh piranha (ataupun karena hal lain) dan juga 3B (bikinis, booti*s, dan bo*bies). Tujuan "menghibur" penonton lewat dua poin di atas bisa dibilang berhasil, adegan ikan piranha yg "menggerogoti" tubuh manusia cukup disturbing. Akibatnya sensor sekitar 4 menit pun tak dapat terhindarkan lagi, meskipun banyak juga yg kelolosan .... Sebetulnya adegan sadis di film ini bisa dibilang mempunyai kadar yg berbeda dengan film-film "mutilasi" seperti SAW, Hills have eyes, Texas Chainsaw yg cenderung lebih serius; justru malah dapat memancing senyum geli penonton di beberapa adegan. Namun saking tanpa rasa bersalahnya, adegan demi adegan yg terjadi di danau Victoria pun menjadi garing... Ibarat makan kacang yg garing, mulanya terasa enak dan kelamaan menjadi biasa aja, tapi tetap dimakan terus ...

Buat penonton yg jeli, ada satu-dua adegan yg mungkin tidak "sinkron", seperti air danau yg tiba-tiba menjadi bersih padahal baru semenit sebelumnya masih penuh dengan darah dan mayat-mayat yg mengapung. Atau ada tokoh utama yg jatuh ke air dan tidak diperlihatkan lagi kelanjutan nasibnya.

Para aktor-aktris utama film ini bukanlah pemain baru di Hollywood, seperti Ving Rhames, Elisabeth Shue, Jerry O'Connel, dan Richard Dreyfuss; mungkin karena mereka tidak laku lagi bermain di filmlayar lebar sehingga diambillah peran tersebut. Soal akting?? Hmmm.... tidak perlu akting susah-susah di film ini, cukup mengucapkan dialognya saja.
Bagaimana dengan fitur 3D yg ditawarkan film ini? Sama seperti Last Airbender, sebetulnya Anda cukup menonton versi 2 dimensinya saja, apalagi beberapa adegan penting telah dibabat sensor.
Akhirnya, semua penilaian bagus atau tidaknya film ini berpulang kepada penonton, apakah Anda termasuk penggemar film berisikan adegan sadis berdarah-darah? atau sebaliknya merasa terganggu dengan adegan tersebut?

Kalau buat gua sih... i have no problem with those... that's why i give 6.5 out of 10 stars

Jangan beranjak dari tempat duduk Anda sampai film benar-benar berakhir.






23 Oktober 2010

The biggest battle of dancing in 3D

@Puri XXI, studio 6, Oct 23rd 2010, 1440 hrs

Luke (Rick Malambri), cowok yg terobsesi untuk menjadi seorang film-maker sedang membuat sebuah film dokumenter mengenai dance berjudul "Born from a boom-box". Luke juga mempunyai sanggar yg disebutnya sebagai "The Vault", sebuah tempat latihan dance untuk mereka yg serius. Well, rupanya dia juga "berprofesi" mengumpulkan orang-orang yg berbakat untuk latihan di sanggar itu tanpa menarik uang iuran... How generous this guy is! Bukan cuman itu aja, sanggar itu mempunyai sebuah klub malam bawah tanah bagi anak muda yg hobi dance... Dan anehnya, tidak terlihat pengunjung yg minum-minum, cuman nge-dance doank. Ngapain juga bayar uang masuk klub cuman buat nge-dance doank yak?? Rupanya Luke dihadang masalah ketika sanggar bawah tanah itu akan disita oleh bank karena uang sewanya tidak dibayar selama 5 bulan. Luke bilang, bisnis klub malam juga sedang lesu, emang klise nih.... Satu-satunya jalan keluar, Pirates (begitulah Luke menamakan kelompok dance-nya) harus memenangkan kompetisi dance "World Jam" berhadiah utama 100.000 dollar!
Aneh juga sih, padahal sanggar itu dipenuhi barang-barang mahal, kayak segudang sepatu Nike limited edition, segunung stereo buat latihan dan dua perangkat komputer canggih yg dimiliki Luke untuk meng-edit film dokumenternya, tapi ga mampu bayar uang sewa, jiahhhh.... Sementara itu, Julien (Joe Slaughter) pemimpin kelompok Samurai yg tajir dan merupakan rival utama Pirates, mengancam akan membeli the Vault, bila Pirates tidak mundur dari kompetisi.

Tiba-tiba muncul Natalie, diperankan oleh gorgeous beauty french-look, Sharni Vinson. Singkat kata, Luke menawarkan tempat tinggal dan jatuh cintrongg (sesuai dengan dugaan dan keinginan penonton tentunya).....tanpa tahu asal-usul yg jelas cewek yg satu ini. Yg penting cakep dan sama-sama suka dance lah....

Kemudian ada Moose (Adam G. Sevani) yg menarik perhatian Luke untuk mengajaknya bergabung dengan kelompok Pirates. Tokoh yang sudah muncul sebelumnya di seri kedua, dikisahkan masuk tahun pertama kuliah jurusan teknik di NYU bersama sahabat masa kecilnya, Camille (Alison Stoner). Jalan cerita yg menunjukkan chemistry Camille dan Moose tampak lebih baik daripada Luke dan Natalie sendiri. Adegan street-dancing dengan irama klasik yg ditampilkan duo Moose-Camille sangat musikal. Moose memang aktor utama dari film berdurasi 107 menit ini. He really can dance! Bandingkan dengan Luke ketika melibatkan diri dalam babak pertama kualifikasi World Jam. Di bagian awal dia ikutan nge-dance, namun di tengah-tengah dia malah ngobrol dengan penonton di pinggir dan kemudian muncul lagi di ending act-nya. WTF?? He is only dancing a 'lil bit in this movie. Salahkan si penulis skenario tentunya... Atau mungkin agak sulit mencari aktor sekaligus bisa nge-dance (walau dikit) dan bertampang komersil seperti pemeran Luke. Oke lah kalo begitu...

Sesuai dugaan, kelompok Pirates dan Samurai harus duel maut dalam final kompetisi World Jam. Bukan suatu spoiler juga, kalau Pirates adalah pemenangnya. Cukup aneh, kemenangan Pirates ditentukan oleh tarian dua menit duo Luke-Natalie yg sebetulnya tidak berkesan sama sekali dan merupakan koreografi terjelek di film ini, meskipun harus gua akui bila gaya tersebut merupakan ciri khas dari trilogi ini. Lagi-lagi, dalam kompetisi final ini, tokoh Luke hanya menjadi penari "figuran" saja.

Well, lupakan jalan ceritanya yg ringan dan mudah ditebak dengan akting standar para bintang muda yg kurang terkenal, film ini memang tidak menjanjikan apapun selain koreografi dance yg keren abis!! Berpadu dengan musik, kostum dan visualisasi 3D yang wow...! Adegan balon, gelembung udara, serpihan tepung (ataupun apapun itu), dan close-up dance-nya betul-betul amazing! Gua suka banget dengan penari bergaya robot. Mungkin kalau kelompok Pirates dan rival-nya ikutan audisi IMB dan IGT, gua yakin banget para juri akan berkata : "kalian lanjut!". Tapi sayang ini bukan acara reality show...

Sepertinya film dance seperti ini cukup laris manis di pasar lokal. Overall, untuk ukuran film dance, Step Up 3 tergolong memuaskan, menghibur, dan tidak membosankan, a must see in 3D!! It is much much better than Street Dance that i watched last month. Bahkan penonton tanpa sadar akan bergoyang sendiri di tempat duduk ketika menonton film ini.
I like to moose it, moose it...

7.5 out of 10 stars...


19 Oktober 2010

The other (stupid) guys...

@Puri XXI, studio 7, Oct 18th 2010, 1915 hrs

18 Oktober 2010

Eat in Italy, pray in India, love in Bali..., and suck...

@Epicentrum XXI, Studio 1, Oct 16 2010, 1830 hrs

Hmmm... penonton film Jakarta berbondong-bondong menyaksikan film berdurasi 140 menit ini karena promosi suting yg dilakukan di Bali, belum lagi melibatkan aktris senior Christine Hakim dan beberapa pemain lokal baru. Dan hasilnya adalah... nanti dulu...

Elizabeth Gilbert (Julia Roberts) , seorang wanita New Yoker berusia hampir 40 tahun, yg "katanya" mengalami depresi dalam kehidupan pribadinya, karena merasa tidak betah tinggal dengan suaminya Stephen (Billy Crudup) yg "dikisahkan" adalah seorang pria baik, dengan pekerjaan baik pula, tidak selingkuh, begitu mencintai istrinya. Tapi entah kenapa Liz Gilbert yg "katanya" depresi (sori banget sengaja gua ulang) ini minta cerai dan menginginkan keluar dari kehidupannya yg dijalaninya selama ini. Ia ingin mengalami sebuah perubahan hidup walaupun harus membagi hartanya kepada Stephen supaya Stephen mau bercerai. Asik juga yg jadi suaminya yak! Sementara itu dia juga mengalami "affair" dengan seorang pengangguran muda yg "dikisahkan" adalah seorang ahli yoga dan aktor gadungan berusia 28 tahun, David Piccolo (not Pikacu). Tanpa alasan yg jelas, dia juga merasa kaga betah dengan David, akhirnya Liz mengambil sebuah keputusan pergi ke Italia untuk meningkatkan nafsu makannya. Kenapa harus ke Italia? apakah di New York sudah tidak ada makanan yg enak?? Ga jelas emang, setau gua sih... untuk meningkatkan nafsu makan kita harus hidup sehat, olahraga dan istirahat cukup. Hm... Liz Gilbert memang sudah ga jelas dari awal apa maunya. Di Italia (Roma) dia bertemu dengan teman-teman baru yg dianggapnya sebagai keluarga sendiri. Kasian amat nih orang, nyari temen aja perlu sampe ke luar negeri...

Setelah 4 bulan di Itali, dia pun terbang ke India (lupa ke daerah apa) untuk belajar meditasi dengan seorang guru (master) meditasi kenalan David. Memang ga jelas apa agama Liz Gilbert ini, di bagian awal dia kurang tertarik dengan meditasi dalam bahasa sansekerta, di mana dia harus bangun pagi-pagi dengan duduk bersila dengan sekelompok orang tanpa sang Guru ada di sana, hanya fotonya saja! Ada di mana sang Guru? ga penting juga si... Akhirnya dia cuman bisa sharing dengan Richard, pria tua dari Texas (diperankan Richard Jenkins). Bla.... bla.... bla... tanpa pengalaman spiritual yg mendalam dan jelas, Liz akhirnya berhasil konsentrasi dalam bermeditasi.

Singkat kata dia pun terbang ke Bali, karena dia ingin memenuhi janjinya bertemu lagi dengan Ketut, seorang bapak tua peramal yg ditemuinya setahun lalu ketika berkunjung ke Bali.
Well, Ketut pun menyarankan dia tetap meneruskan meditasi yg dipelajarinya di India setiap pagi. Sampai akhirnya dia bertemu dengan pengusaha paruh baya dari Brazil Felipe (javier Bardem) dan bla.. bla... bla.... mereka pun jatuh cinta.

Pemilihan Julia Roberts sebagai Liz Gilbert memang tepat! Ditinjau dari segi usia Julia dan Liz asli tidak berbeda jauh. Kegagalan utama di film ini adalah kurang dalamnya eksplorasi karakter Liz dan kehidupan pribadi yg "katanya" kurang seimbang. Sepanjang film ini dia hanya terlihat sebagai seorang "wanita biasa" yg tidak depresi-depresi amat, just like any others mature women. Ada dua dialog utama di mana Liz harus bertengkar dengan Stephen ketika menuntut perceraian dan Felipe di Bali, 2 adegan tersebut terbangun kurang mulus dan akhirnya adegan pertengkaran itu menyisakan kerutan di dahi penonton, sambil bergumam, apa seeehhh....atau istilah kerennya WTF??

Bagian terbaik film ini adalah Itali, dalam satu adegan ketika Liz memakan Spageti dengan irisan musik Italiano, terlihat perfecto dan lezato... maknyussss bagaikan sebuah iklan spaghetti La F*nte di tivi. Kata "EAT" memang berhasil diwakili oleh bagian ini.
India, seharusnya bagian ini menjadi bagian paling spiritual yang diwakili oleh kata "PRAY" tapi penonton malah disuguhi dialog perdebatan nalar antara Richard dan Liz, plus curhatan Richard yang meninggalkan keluarganya di Texas... Scoring musiknya gagal untuk mewujudkan rasa spiritual ke dalam benak penonton. Nuansa Indianya pun kurang nendang, mungkin scoring-nya harus manggil A.R. Rahman (komposer film Slumdog Millionaire) kali yeeee....
Bali.... bagian ini adalah bagian serba tanggung, ada beberapa scenery yg berhasil ditangkap melalui cinematografi tapi kurang maksimal, bahkan tari kecak dan musik Bali sama sekali tidak dihadirkan!! Penonton malah disuguhkan lagu brazil berirama Waltz!! Chemistry Felipe kurang klik dengan Liz, entah bagaimana dia bisa jatuh cinta dengan Liz, hm... mungkin karena sama-sama duda dan janda kali yeeee... Romantisme film ini masih jauh dari kata "LOVE" yg diwakilinya.
Ryan Murphy sebagai sutradara yg "katanya" pernah menyutradarai beberapa episode serial GLEE, tidak pernah tahu bagaimana musik dan budaya Asia. Seharusnya dia bisa "membajak" sutradara ternama lokal ketika suting di India dan Bali supaya bisa menghidupkan suasana sesuai dengan setting cerita.
Tokoh yg mencuri perhatian penonton adalah pemeran Ketut dan istrinya yg ampunnnn... nyeletuk mulu yak, but hey i like both of them! Good job...
dan sebuah preformance yg tidak terlalu berkesan dari Christine Hakim... yah lupakan.... itung-itung buat go international lah...

Lalu, seberapa depresikah Liz dan seberapa pentingnya, sampai-sampai dia harus melakukan perjalanan ke tiga negara itu? Ga jelas dahhhh....

6 out of 10 stars,
not too inspirational and not deep enough...




01 Oktober 2010

The Experiment : Percobaan di penjara

@Blitzmegaplex CP, audi 9, Sep 30th 2010, 1630 hrs

Sehabis darah garuda, langsung nyambung film berdurasi 95 menit ini. Merupakan re-make dari film Jerman berjudul sama mengisahkan tentang 26 pria yg dibayar untuk melakukan serangkaian percobaan sebagai napi dan sipir di sebuah penjara buatan selama 14 hari, yg diselenggarakan oleh sebuah perusahaan swasta ga jelas.
Terpilihlah ada 8 orang sebagai sipir dan sisanya sebagai napi. Sebetulnya mereka hanya perlu melakukan tugasnya sesuai peran layaknya sebuah permainan, dengan peraturan tertentu, apabila terjadi kekerasan ataupun salah satu dari mereka ingin keluar, maka permainan tersebut berakhir dan mereka tidak akan dibayar!

Adalah Travis (Adrein Brody) yg ikut dalam permainan itu sebagai napi. Kepribadian yg berani dan loyal terhadap sesama napi, membuatnya dibenci oleh Barris (Forest Whitaker) yg terpilih sebagai sipir. Percikan-percikan kecil terjadi di antara sipir dan napi yg menyebabkan perlawanan para napi menjelang akhir cerita.
Film ini masih berada di bawah ekspektasi gua, sebagai film yg seharusnya penuh dengan aksi kekerasan. Tapi gua yakin versi Hollywood ini jauh lebih soft dibandingkan versi aslinya. Gua mempertanyakan bagaimana sipir yg cuman 8 orang itu bisa dengan mudah mengisolir (menangkap satu per satu) setiap napi yg dua kali lebih banyak jumlahnya. Klimaks perlawanan napi melawan sipir penjara kurang terasa hype-nya. Apalagi sipir penjara terlihat fine-fina saja setelah digebuki oleh para napi, padahal jumlah mereka lebih sedikit (lagi-lagi..).
Akting Adrien dan Forest memang tidak jelek, mungkin mereka terjebak dalam skrip dan setting yg agak sempit... film ini sendiri memang lebih berfolus pada dua tokoh ini saja. Seharusnya film ini bisa mengeksplorasi lebih banyak sisi psikologis para napi dan sipir yg "terkungkung" di mana keseharian mereka adalah para warga sipil yg bebas.

6 out of 10 stars..

Darah Garuda... darahnya kurang nih...

@Blitzmegaplex CP, audi 7, Sep 30th 2010, 1445 hrs

Berhubung udah nonton yg pertama, jadi yg kedua harus ditonton juga! Tinggal blitz aja yg masih muter film ini, sekalian gua menghabiskan voucher nonton summer pasport.
Melanjutkan ending dari film pertamanya di tahun 1947, setelah Amir (Lukman Sardi) dan kawan-kawan berhasil melumpuhkan truk pengangkut bahan bakar yg ditumpangi Mayor Van Gaartner (Rudy Wowor). Ven Gaartner berhasil ditawan dengan tujuan untuk "ditukar" dengan Senja (Rahayu Saraswati) dan istri Amir, Melati (Astri Nurdin) yg ditawan dan bekerja paksa di perkebunan kopi. Kedua wanita itu berhasil diselamatkan namun Van Gaartner juga berhasil meloloskan diri.
Selanjutnya cerita pun bergulir kelompok anak muda itu bergabung dengan tentara Jendral Sudirman dan Amir pun diangkat sebagai kapten. Tomas (Donny Alamsyah), Dayan (Teuku Rifnu) dan Marius (Darius Sinathrya) diberi pangkat Letnan. Keempat orang itu bekerja sama dengan anak buah Jendral yakni Sersan Yanto (Ario Bayu) dan prajurit Budi (Aldy Zulfikar) ditugaskan untuk menyerang lapangan udara Belanda. Ketika mereka akan berangkat ke lapangan udara dengan mobil, terjadi penghadangan oleh tentara Belanda yg dipimpin oleh Gaartner sendiri. Terjadi tembak-menembak dan menimbulkan korban di semua anak buah Jendral Sudirman. Dayan sendiri tertembak dan ditawan oleh Gaartner. Akhirnya para pejuang yg tersisa sepakat untuk berjalan kaki, sementara Yanto meneruskan naik mobil untuk mengelabui tentara Belanda yg terus mengejar mereka. Kemudian Amir dkk bertemu pejuang separatis Islam yg dipimpin oleh Kiai siapa gitu (Alex Komang). Kelompok separatis itu pada awalnya menawan Amir dkk, tapi malahan mendukung rencana Amir yg ingin menghancurkan Belanda dengan memberikan bantuan bom. Apakah rencana Amir dkk berhasil?

Meskipun film ini dikategorikan film epik-thriller, sebetulnya film ini tidak terlalu menarik untuk ditonton karena alurnya agak membosankan, dialog dan adegannya kurang bisa menggugah emosi penonton, apalagi sampai membangkitkan rasa nasionalisme (apa karena film ini disutradarai dan ditulis oleh orang asing yah??), sungguh patut disayangkan, padahal itu yg menjadi poin utama sebuah film perjuangan. Diwarnai beberapa adegan kilas balik dari film pertamanya yg menggambarkan perbedaan latar belakang anak muda itu. Ada Senja (Rahayu Saraswati) yg mempunyai ibu seorang Belanda, namun kedua orang tuanya dibunuh oleh penduduk lokal yg begitu membenci Belanda. Kakak Senja yakni Surono (Zumi Zola) yg tewas di film pertamanya. Raut wajah Rahayu sendiri terlalu "indonesia asli" untuk menggambarkan dirinya sebagai keturunan campuran. Penampilan Atiqah Hasiholan sebagai wanita penghibur yang trauma Lastri, tidak terlalu penting, bisa digantikan oleh aktris lain. Alex Komang... awalnya gua kaga ngeh kalau dia mewakili tokoh fiktif dari Tentara Islam Indonesia sampai gua membaca sinopsis film ini, seinget gua tidak diberi keterangan apapun di layar. Tadinya gua pikir bagian ini ga penting banget, baik tokoh Kiai dan anak buahnya. Apalagi dialog antara Amir dkk dengan anak buah kelompok separatisme terasa kaku dan aneh.

Lukman Sardi (lagi-lagi...), i have no more comment about this actor. Penampilan 3 aktor utamanya oke lah, walaupun bukan akting kelas 1. Overall mungkin Teuku Rifnu yg paling menonjol di antara mereka berempat.

Poin plus film ini adalah adegan tembak-menembak dan ledakan yg real, karena film ini memang menyewa para spesialis dari Hollywood. Tampaknya bujet film ini memangl ebih banyak dialokasikan untuk urusan yg satu ini, akibatnya skrip cerita dan penokohan yg kuat pun terabaikan.
Kalau di film pertama, ada adegan bloopers di mana ada perut mayat yg masih kembang-kempis. Di film ini sih kaga ada, yg ada hanyalah tentara Belanda yg menembaki 4 tokoh utama kita yg dibuat terlihat bodoh... Yap, tentara Belanda di film ini dibuat bodoh sekali dalam kemampuan tembak-menembak. Bayangkan saja, ketika tokoh Tomas melompati sayap kapal terbang yg satu ke yg lain di ruang terbuka, dan tidak ada satu pun tembakan dari tentara Belanda yg mengenai Tomas... padahal yg nembak banyak gitu lohhh....
Kebodohan tentara itu makin memuncak ketika Amir nekat menembaki tentara Belanda tanpa ada bantuan dari teman-temannya di tengah-tengah lapangan udara dan tentara Belanda bersembunyi di balik karung goni, tidak ada satu tembakan yg mengenai Amir. Bahkan ada satu adegan ketika muncul Mayor Van Gaartner yg mau menembak Amir tapi kehilangan senjatanya, dan Amir pun tersenyum berasa menang, adegan ini dibuat sedikit slow-motion, tapi tidak ada satu pun tentara Belanda yg menembaki Amir yg sedang tersenyum menang!! Aseli, goblok banget tuh Belondo! Tapi anehnya ketika Amir berhasil masuk ke lumbung padi, di dalam lumbung itu Amir malah kena tembak.... bravo untuk wong Londo!!

5.5 out fo 10 stars

Antara gempa bumi, pengorbanan, dan keluarga

@Emporium XXI, studi0 3, Sep 30th 2010, 1145 hrs

Film yg menjadi box-office di China dan berdurasi 135 menit ini (tapi sepertinya sengaja dipotong-potong tinggal 130 menit aja untuk mengejar durasi) mengisahkan sebuah cerita fiktif berlatarbelakang gempa bumi Tangshan di tahun 1976. Li, seorang istri yg kehilangan suaminya, dipaksa harus memilih salah satu anak kembarnya untuk ditolong dari reruntuhan gempa karena tiang beton bangunan yg menimpa kedua anaknya di setiap ujungnya. Akhirnya Li memilih anak laki-lakinya, Fang Da untuk diselamatkan, karena Fang Deng sudah tidak bersuara lagi. Namun tak disangka-sangka Fang Deng ternyata masih hidup ketika digeletakkan di tanah, dan dia diangkat anak oleh sepasang suami istri tentara yg menjadi petugas evakuasi gempa, mereka inggal di kota lain. Cerita pun bergulir 10 tahun kemudian, ketika Fang Da dan Fang Deng akan mengikuti ujian masuk perguruan tinggi. Fang Da yg tangan kirinya cacat sebelah tumbuh menjadi pemuda yg sering bolos sekolah dan lebih suka menjadi travel-guide. Fang Deng yg memilih jurusan kedokteran, sering mengalami mimpi buruk di tengah malam, rupanya dia menyimpan amarah kepada ibunya karena tidak dipilih untuk diselamatkan.

Ibu angkat Fang Deng meninggal karena kanker dan dia sendiri harus drop-out karena harus menanggung malu telah dihamili oleh senior kampusnya. Fang Deng pun menghilang selama beberapa tahun sampai akhirnya dia kembali bertemu ayahnya dengan membawa seorang anak perempuan. Selanjutnya dia pun menikah kembali dengan seorang pria bule dan tinggal di Kanada.

Sedangkan Fang Da sendiri yg ga jelas kuliah apaan, sudah mempunyai perusahaan travel sendiri dan menikah dengan wanita cantik, sementara ibunya tetap tinggal di Tangshan dan tidak mau pindah.
Ketika anak Fang Deng berusia 18 tahun terjadi kembali gempa bumi di China dan dia menawarkan diri sebagai sukarelawan, di sanalah kedua saudara kembar itu bertemu karena Fang Da juga menjadi sukarelawan...

Ini film kedua yg membuat gua mewek setelah My Name is khan... akting para aktor-aktrisnya memang bagus, terutama akting sang ibu yg terlihat tetap tegar namun rapuh di dalam.
Film ini lengkap dalam membahas hubungan keluarga, antara ibu dan anak, suami dan istri, istri yg setia kepada suami dan sebaliknya, anak yg berbakti kepada orang tuanya, istri yg harus mengalah demi suaminya, memang banyak yg bisa dipetik dari film ini dengan latar belakang kehidupan budaya China.
Scoring-nya juga oke ditambah adegan gempa efek yg real, ga kalah dengan film Hollywood (sayang cuman 5 menitan). Tentunya jangan berharap ini adalah sebuah film natural disaster ala Hollywood seperti Armageddon dan 2012. Mungkin film ini bisa dibandingkan dengan film Deep Impact, di mana porsi drama menempati hampir semua bagian film.
Satu-satunya kekurangan dari film ini adalah penampilan wajah aktor-aktrisnya yg kurang meyakinkan sesuai dengan umur mereka, di mana film berjalan dalam rentang 1976 sampai 2008, ketika Fang Da dan Fang Deng berumur 40 tahun. Bayangkan mereka memakai aktor dan aktris yg sama untuk penokohan 18 tahun sampai 40 tahun!! Aktor pemeran Fang Da terlalu tua untuk anak 18 tahun dan sebaliknya aktris pemeran Fang Deng terlihat terlalu muda untuk tokoh 40 tahun, kegagalan dari segi make-up! Sebaiknya mereka memakai tiga aktor/aktris untuk film dengan rentang waktu puluhan tahun seperti ini.

Ketika menonton film ini masih ada sedikit subtitle bahasa Indonesia yg tidak muncul, hal ini memang sering terjadi di film mandarin yg diputar di bioskop dan terselip adegan yg membuat penonton bingung seperti peristiwa kematian Mao Zedong di tahun 1976 ataupun tragedi Tiananmen di tahun 1989 (tidak digambarkan secara eksplisit di sini).

7 out of 10 stars

Sang Pencerah, memang mencerahkan...

@Pejaten XXI, studio 2, Sep 29th 2010, 1915 hrs

Terus terang gua tidak berharap apa-apa ketika akan menonton film ini, kata orang-orang yg udah nonton sih bagus.. Well, gua pikir ga ada salahnya juga menonton, sebagai movie-lovers, seharusnya gua ga boleh mendiskriminasi film yg akan gua tonton bukan? Lagipula gua suka dengan film sejarah... Dan teman-teman gua pun komen, "hah.. ngapain lo nonton film kayak gitu??"

Muhammad Darwis lahir di jogja tahun 1868, pada umur 15 tahun pergi ke Mekkah dan kembali 5 tahun kemudian, Darwis muda (Ihsan Taroreh) mengganti namanya menjadi Akhmad Dahlan (diperankan oleh Lukman Sardi). Sepulang dari Mekkah beliau menikah dengan Siti Walidah (Zaskia Adya Mecca) dan mendirikan langgar (surau) di depan kediamannya. Pandangannya tentang Islam yg lebih modern namun tetap taat mendapat pertentangan dari masyarakat sekitar termasuk keluarganya sendiri. Sampai akhirnya berdirilah organisasi Muhammadiyah yg bergerak di bidang sosial dan pendidikan pada tahun 1912.

Gua pikir Hanung berhasil menyampaikan pesan sesuai dengan judulnya, Sang Pencerah. Tokoh Akhmad Dahlan digambarkan sebagai seorang muslim namun terpelajar, berusaha mengubah pandangan masyarakat yg selama ini dianggap benar seperti melakukan persembahan sesajen, menghadap ke kiblat yg salah, dan pendidikan modern. Lepas dari propaganda agama yg terkandung di film ini, film ini berhasil "mencerahkan" pikiran penonton untuk bisa membuka diri terhadap hal yg baru namun bersifat postitif. Terkadang kita selalu berpikir bahwa apa yg dilakukan selama ini adalah benar dan menutup diri terhadap perubahan, bahkan menyebut hal baru itu sebagai sesuatu yg salah (dalam film ini, sesuatu yg baru dan tidak sesuai dengan agama disebut kafir).

Scoring yg bagus dan (lumayan) dramatis sangat mendukung akting para aktor utamanya, yup... karena hampir semua pemain utama di film ini adalah aktor... Simpel, teguh dan idealis, tiga hal ini yg gua tangkap dari pribadi seorang Dahlan yg berhasil diwujudkan lewat akting Lukman Sardi, meskipun bukan akting terbaiknya sih.... Jujur gua agak bosen ngeliat tampangnya yg cukup sering muncul di layar lebar, terhitung sudah 4 film di tahun ini (Tanah Air Beta, Red CobeX, darah garuda, dan film ini), kayaknya dia emang lagi kejar setoran.
Ihsan si jebolan Indonesian Idol juga tidak buruk aktingnya. Yg masih harus diasah mungkin si Giring Nidji, kebanyakan nyanyi soalnya (dibandingkan Ihsan), hehehehe... Zaskia Mecca sebagai istri sang sutradara, ehemm.... gua pikir dia cuman kebagian nangis dan nangis doank di film ini, ternyata ada dialognya juga.
Satu hal yg agak mengganggu mungkin adalah pemilihan Lukman Sardi sebagai Akhmad Dahlan mulai usia 20 tahun-an sampai seterusnya... mungkin sebaiknya Hanung menggunakan 3 aktor untuk hal tersebut, karena efek make-up-nya tidak berhasil yg menyebabkan Akhmad Dahaln terlihat tua di usia awal 20 tahun. Atau cuman Lukman Sardi saja yg memang pantas memerankan tokoh yg satu ini? Hmm... biarlah penonton yg menilai.
Jangan lupa ada figuran Belanda yg muncul beberapa kali di stasiun kereta api di adegan yg berbeda, masa sih ga ada figuran bule lain?? okelah kalo begitu, bukan masalah besar...
Mungkin yg agak sedikit kedodoran adalah setting-nya (maklum karena belum banayk film kita yg ber-setting jadul), penonton tidak terlalu merasa sedang dibawa ke awal tahun 1900-an. Seakan-akan semuanya terjadi di masa kini, namun dengan setting pedesaan dan baju ala keraton aja.
Selain itu time-line yg sempat bolak-balik di pertengahan cerita (tertulis tahun kejadian di bagian bawah pada adegan tertentu) sempat membuat gua bingung, meskipun secara keseluruhan tidak mengurangi esensi film berdurasi hampir 120 menit ini.

7.5 out of 10 stars...

Si pengusir setan atau apa...??

@Pejaten XXI, studio 5, Sep 29th 2010, 1730 hrs

Sama sekali gua tidak membaca sinopsis film ini dan langsung nonton aja, lagipula ga penting juga sinopsis cerita kalau kita bakal nonton juga pada akhirnya... Film ini dikemas secara dokumenter dan sepertinya memang gampang dijual, mengingat bujet film seperti ini tergolong sangat murah untuk ukuran Hollywood.
Pendeta Cotton Marcus (Patrick Fabian) memfilmkan pekerjaan sebagai seorang pendeta sekaligus pengusir setan. Banyak monolog tentang khotbah gereja, setan, agama, keTuhanan, dan juga keluarga dari tokoh ini selama 10-15 menit pertama. Bisa jadi sebagian penonton akan menganggapnya sebagai sebuah propaganda kristen. Sebetulnya Cotton tidak percaya kalau setan itu ada, pengusiran setan hanya dilakukan demi uang saja. Suatu ketika, dia mendapat undangan untuk pengusiran setan dari Louis Sweetzer di Louisiana, yg mencurigai anak perempuannya sering kerasukan setan di tengah malam dan membunuh ternak piaraan keluarga tersebut.
Pengusiran setan pun dilakukan dan keliatannya berhasil, namun sesuatu yg lain pun terjadi... Pendeta Marcus menjadi bingung dan terjebak dalam situasi di luar apa yg dijalaninya selama ini...

Okeii, lupakan saja kalau film berdurasi 80 menit ini bergaya dokumenter (yup, this is the third 80 minutes movie i watch this year in cinema!!), at least gambarnya tidak separuh hitam-putih seperti black witch project ataupun memusingkan seperti Quarantine [REC] dan Cloverfileld. Ada beberapa shocking scenes meskipun tidak se-shocking ending paranormal activity, but hey.... it's not like the other scary-movie with stupid act of its characters. It turns quite smart with twisted plot. Akting para aktor-aktrisnya di atas rata-rata. Justru yg gua "kurang suka" adalah ending-nya yg menimbulkan pertanyaan.. jadi sebetulnya itu setan atau bukan?? Dan penonton akan bergumam, segitu doank nih?? Sebuah pertanyaan yg muncul kerap kali muncul seusai kita menonton film horor. Sebagian orang bisa berpendapat kalau film horor itu tidak perlu ada penjelasan yg masuk akal, yg penting penonton mendapatkan feel dari horor-nya. Well, if you do believe in GOD, then you have to believe in demons.... and the rest of it couldn't be explained by human logic.

You could watch this one, if you have any spare time......

6.5 out of 10 stars