15 Mei 2011

Sebuah cermin kehidupan di wakatobi yg nyaris tanpa konflik...

@Blok M Square 21, Studio 5, May 14th 2011, 1545 hrs

Dekade lalu ada iklan lawas sebuah rokok bermerk B, dengan slogan "i love the blue of indonesia"
Yes, that is the reason i watch this movie...blue is fave colour and beach is my fave destination...

Dibuka dengan adegan seorang anak perempuan yg tidak bisa tidur, lalu bangun dan mendayung sampan ke laut, film ini diberi judul the mirror never lies, dan diartikan subtitle menjadi LAUT BERCERMIN, nah lohh...??

Pakis adalah seorang anak perempuan dari Suku Bajo yg duduk di bangku SD, merindukan ayahnya yg hilang ketika mencari ikan di laut. Adalah sebuah cermin yg merupakan satu-satunya "peninggalan" sang ayah, dan Pakis selalu membawa cermin itu ke seorang dukun guna mencari keberadaan sang ayah.
Maklum, namanya juga wong ndeso.... masih percaya hal-hal tahayul.
Suku bajo adalah kelompok kecil dari masyarakat sulawesi tenggara yg hidupnya terpisah dari pulau utama dan bergantung pada hasil laut.
Para suami mencari ikan-ikan sampai beberapa waktu, dan kemudian pulang untuk dijual oleh para istri.
Mereka tinggal di pemukiman bambu-bambu yg dibangun di atas air, lengkap dengan listrik dan parabola untuk menangkap siaran tivi.
Bahkan anak-anak mereka harus mendayung sampan untuk mencapai sekolah yg dibangun di atas air yg masih jernih. Jangan dibandingkan dengan pemukiman nelayan di muara angke yg dibangun di atas air laut berwarna coklat bak comberan.
Kira-kira begitulah kehidupan suku bajo yg gua tangkap melalui film ini.

Secara keseluruhan , film ini berhasil sebagai alat propaganda untuk mengajak penonton lebih menghargai (sekaligus lebih mengenal) kehidupan hayati indonesia, terutama laut. Sekedar tambahan info dari wikipedia, kalau wakatobi merupakan bagian dari taman nasional wakatobi (nama wakatobi sendiri diambil dari pulau-pulau yg membentuknya yakni Wangiwangi, Kaledupa, Tomea, dan Binongko).

Namun bila dilihat dari value sebagai sebuah film, Mirror masih jauh dari harapan.
Ini ga bisa disangkal karena WWF memang menjadi eksekutif produser film ini bersama dengan pemda kabupaten Wakatobi, menitikberatkan tujuan di atas.

Film ini sepertinya membuang sia-sia akting Reza Rahardian yg berperan sebagai Tudo yg sudah dianugrahi 2 piala FFI. Asli, gua bosen ngeliat aktor yg satu ini, udah kayak Lukman Sardi yg kejar setoran.
Tudo adalah seorang peneliti lumba-lumba dari jakarta yg melakukan penelitiannya di sana dan menginap di rumah Tuyang, ibu pakis (diperankan Atiqah Hasiholan).
Lambat laun ada sedikit cinta yg tumbuh antara Tuyang yg memang kesepian karena ditinggal suami dengan Tudo yg sepertinya juga kesepian. Pakis juga ternyata menyimpan rasa suka pada Tudo, dikarenakan kerinduan atas figur seorang ayah.
Karakter Tudo tidak dielaborasi sama sekali, padahal dia menyimpan sebuah gaun putih berukuran kecil yg tidak dijelaskan latar belakangnya sampai film berakhir. Tidak hanya itu, cinta segitiga (kalau emang bisa disebut cinta) berakhir begitu saja nyaris tanpa konflik dengan alur yg sepi dan datar. "Kesepian" film ini hanya bisa dipecahkan ketika Tuyang memarahi Pakis karena terlalu berharap sang ayah bisa ditemukan lewat cermin peninggalan itu dan juga tingkah Lumo (teman Pakis) yg tengil.
Atiqah yg muncul bermaskeran hampir sepanjang film, membuat penonton bingung, apakah karena dia dikontrak oleh sabun bermerk tiga huruf itu, sehingga mukanya harus dimaskerin supaya tidak terbakar?
Ternyata dia emang seorang wanita yg setia terhadap suaminya, supaya tidak dilirik oleh pria lain sehingga mukanya harus dimasker sperti itu.
Penampilan Atiqah di film ini untuk berdialog dalam bahasa bajo serta menghitamkan kulitnya mengingatkan pada akting Alexandra Gottardo dalam film Tanah Air beta.

Untung aja, film ini masih mempunyai detak nadi yg dipacu oleh karakter Lumo (artinya lumba-lumba dalam bahasa indonesia) yg menyimpan rasa suka kepada Pakis.
Lumo yg gaya tertawanya lebai bin alai ini berhasil memancing tawa penonton lewat aktingnya yang natural, lebih baik dari akting pemeran Pakis. Lumo bersama satu temannya lagi yg hobi menyanyikan lagu melayu mengingatkan kita kepada karakter di Laskar Pelangi yg melantunkan lagu melayu (lupa nama karakternya).
Kenaturalan film ini juga ditampilkan lewat dialognya yg sebagian diucapkan dalam bahasa suku bajo , tentunya dengan subtitle bahasa indonesia.

Yang jelas, karena film ini merupakan proyek ambisius Nadine Chandrawinata yang memang hobi menyelam (duduk di bangku produser bersama dengan Garin Nugroho) ,
maka semua pemeran dalam film ini pun harus dituntut untuk bisa berenang sekaligus menyelam, termasuk Atiqah dan Reza. Semuanya berhasil direkam dengan cukup baik lewat sinematografi yg mengambil gambar bawah laut dan indahnya warna senja ketika sang surya terbenam.

Penantian gua untuk melihat lumba-lumba pun tercapai ketika mamalia yg satu ini muncul meski hanya semenit menjelang akhir film, at least ini menjelaskan Tudo memang seorang peneliti lumba-lumba. Sebetulnya gua berharap ada adegan para karakternya berenang bersama lumba-lumba, tapi sayang... bisa jadi WWF akan melarang hal tersebut.

Karena nyaris tanpa konflik, sampai di akhir cerita penonton sama sekali tidak mendapatkan apa-apa dari rangkaian cerita yg sudah terjalin, akibatnya secara keseluruhan film ini lebih cocok dimasukkan ke dalam salah satu episode discovery channel yang bercerita budaya dan hidup masyarakat wakatobi.

Well, film yg berdurasi 100 menit ini terasa panjang, ditutup dengan closing credit yg pendek, dan sepertinya tidak didukung oleh Kementrian budaya dan pariwisata.
Menjadi tanda tanya buat gua, apakah sang menbudpar sudah menonton film ini karena jelas-jelas wakatobi adalah sebuah komoditi yg mempunyai nilai jual tinggi, dibandingkan kebanggaannya ketika menghadiri premier film tante julia (makan, berdoa dan cinta), padahal Bali diekspos secara minimalis dalam film tersebut.

Tidak ada komentar: