30 April 2015

Ultron : Tony Starks' Frankenstein..

Plasa Senayan XXI, studio 1, 29 April 2015, 1915

Hmm.. sepertinya gua termasuk penonton yg telat seminggu menyaksikan film berdurasi 140 menit yah... Well, at least ga perlu ngantri capek-capek, cukup 25 menit sebelum pertunjukkan dimulai, masih dapet tempat duduk yg pas tengah, bahkan studionya hanya terisi sepertiga aja. Sebetulnya pun, film ini bukan summer-movie yg gua tunggu, mungkin karena udah kebanyakan... 2 film kapten, 3 manusia besi, 2 palu gada, 2 manusia ijo, dan 1 avengers.

Setelah berhasil memporakporandakan kota Sovokia (plesetan dari Slovakia kah?) untuk merebut kembali "tongkat Loki" dari tangan Hydra yg berpusat di sana, tim Avengers kembali ke markas pusat untuk meneliti apa kandungan "tongkat" tersebut. Di saat yg sama, Tony Starks sedang membuat prototype robot Ultron untuk menjaga perdamaian dunia sehingga tim Avengers bisa pensiun dan mundur dari dunia persilatan.

22 April 2015

A complete failure of an invisible man


Plasa Senayan XXI, studio 5, 22 April 2015, 1830

Ketika gua bilang mau nonton film india ke temen-temen kantor, muka mreka langsung berubah seperti menyimpan seribu komentar yg engga enak untuk dilontarkan, LOL... Tiba-tiba ada yg nyeletuk, "film india itu romantis lho.. nyanyi-nyanyi di bawah ujan, sambil ngiderin pohon"

Oke, trus terang gua sama sekali have no idea, siapa yg sutradara, aktor dan aktris film ini. Gua cuman baca sinopsisnya yg bikin penasaran dari website 21/xxi. Berikut kutipannya: "MR. X bercerita tentang seorang pria yang memilih untuk membalas dendam kepada kelompok yang telah memukulinya setelah ia mendapatkan kekuatan super yang membuat ia tidak bisa terlihat oleh siapapun."
Berasa kerennn ga sih, superhero lho (posternya sendiri cukup promising kan?)... gua jadi inget film Hollow Man yg menurut gua cult abiss di jamannya. Bisa jadi, film ini agak menjiplak Hollow Man sih, tentang seseorang yg mempunyai kemampuan kasat mata. Selama ini kita berpikir cuman hollywood aja yg mampu membuat film superhero (againn...), tapi jangan salah ini bukan film India pertama yg gua tonton ttg superhero. Dua tahun lalu gua sempet menonton Krrish 3 yg dibintangi oleh Hrithik Roshan. What?! Krissh empu gandring yg dibintangi oleh Rintik hujan?? gua yakin hampir semua mungkin ga pernah tau film ini, mengingat cuman gua sendiri yg menonton dalam satu studio, yep... literally, i was alone watching that movie!

Mungkin banyak yg belum mengetahui kalau perfilman Bollywood sudah maju dalam menampilkan visual efek dalam film mereka, meski blum bisa mengalahkan hollywood, tp at least mereka ga make efek seperti dalam sinetron indosiar itu, hahahaha...
Begitu pula Mr. X ini dari segi visual sudah cukup memanjakan mata, termasuk setting dan cinematografinya, damned! Katanya sih lokasi shooting-nya di mumbai, ga nyangka aja kalau mumbai mempunyai spot-spot yg sebagus itu. Selama ini gua berpikir kota-kota di india itu rada kumuh. Tapi yah sebelas dua belas ama Jakarta, di sebelah gedung pencakar langit, ada sungai jorok penuh dengan sampah dan pemukiman liar pinggir kali.

Film ini dibuka dengan opening credits yg "kurang kreatif" untuk standar film super-hero, untung aja ketolong ama theme song utamanya yg sampe sekarang masih berdengung di telinga gua.. "you can call me X, you can call me X, you can call me X, mister X".
Bagaimana dengan porsi lagu dan tarian ala indiahe dalam film berdurasi 125 menit ini? Ga perlu kuatir, dengan durasi yg cukup singkat untuk ukuran film india, cuman ada dua lagu yg dinyanyikan,  sisanya hanyalah background theme.

Raghu (Emraan Hashmi) dan Siya (Amyra Dastur) adalah pasangan yg bekerja di kepolisian ATD (ga tau singkatannya apa, mungkin semacam FBInya India) dan mereka tinggal satu atap di apartemen yg indah buanget.. beneran koq.  Suatu ketika mereka ditugaskan oleh atasannya, Bhardwaj untuk melindungi perdana menteri yg sedang mengadakan konferensi di sebuah hotel karena ada percobaan pembunuhan terhadap sang PM oleh teroris apa gitu. Siya diminta untuk mengawasi kamar hotel orang yg dicurigai sebagai teroris. Dan Raghu diminta untuk mengawasi ruang konferensi.
Ternyata Raghu dipaksa oleh atasannya sendiri untuk membunuh langsung sang PM atau Siya akan ditembak oleh sniper yg udah stand-by mengarah ke kamar hotel tempat Siya bertugas. Pasangan ini rupanya terseret dalam sebuah konspirasi pembunuhan untuk menggulingkan PM yg diprakarsai oleh anaknya sendiri Aditya bekerja sama dengan petinggi ATD, Bhardwaj! Demi cintanya pada Siya, Raghu akhirnya menembak sang PM dan dikejar satuan unit polisi yg dipimpin oleh Bhardwaj. Stop! sampe di sini, gua berpikir, keren juga nih Bollywood bisa membuat cerita kayak gini.

Dari hari yg masih terang di hotel, tanpa ada adegan kejar-kejaran yg terlalu lama, pengejaran polisi terhadap Raghu langsung berakhir di sebuah pabrik tua dalam kondisi malam hari, dan di sinilah semua keanehan film ini dimulai. Raghu yg terpojok dan tidak berdaya akhirnya diledakkan bersama pabrik tersebut. Mayatnya tidak dapat ditemukan oleh polisi karena "tertimbun" di dalam reruntuhan triplek atau kayu gitu. Wait... reruntuhan kayu/triplek?? Hebat sekali memang!

Selanjutnya film action yg seharusnya bernapaskan thriller ini terus menampilkan ide-ide fiksi ilmiah yg menyiksa logika penonton.

Meskipun pabrik itu terbakar semua, ajaibnya masih ada jaringan telepon yg masih bisa dipakai Raghu untuk menelepon Popo, sahabatnya di ATD yg pernah ditolong, yeahhh, another miracle happens here, people! Popo langsung datang membawa Raghu kepada kakaknya , seorang peneliti yg bekerja di sebuah laboratorium genetika or something like that. Kulit Raghu termasuk wajahnya melepuh semua, namun hebatnya pakaian dan jaket yg dipakai Raghu sama sekali tidak terbakar. Dari sample darah, Saudari Popo mengatakan kalau Raghu sudah teradiasi karena ledakan pabrik tersebut, dan pakaiannya tidak dapat dilepas karena sudah menyatu dengan kulit Raghu, bila dilepas berarti sama saja dengan mengulitinya, begitulah analisa jenius sang peneliti yg satu ini. Raghu pun diberi minuman sebuah racikan yg belum selesai diteliti supaya dia tidak mati karena radiasi tersebut. Keajaiban pun terjadi, ntah cairan apa yg diminum dan radiasi apa yg udah menggerogoti Raghu, tiba tiba Raghu menjadi kasat mata, dan hanya bisa dilihat apabila terkena sinar ultra violet dan lampu neon. Jrengg..... Begitu pula jaket kulitnya yg mungkin udah berevolusi menjadi subtansi sel tubuh manusia, ikut menjadi kasat mata. Woww...this is a new unexplained science!
Dan Raghu pun berencana membalas dendam terhadap orang-orang yg sudah mengambil kehidupannya, dengan menamakan dirinya mr. X, ta..raaa.....

Cinta berbalik pun berbalik menjadi rasa benci.  Siya yang mengira kalau Raghu telah meninggal, berpikir kalau Raghu telah mengkhianati cintanya.. Karakter Siya ini agak inkonsisten, karena dari yg cinta banget, terus berubah jadi benci banget, dan tiba-tiba cinta lagi karena (langsung) percaya ama cerita Raghu, namun dia tetap menganggap Raghu adalah vigilante yg harus ditangkap karena telah membalas dendam demi kepentingan pribadi, yg notabene berkaitan dengan Siya sendiri. Padahal Raghu udah bercerita kalau dia melakukan pembunuhan demi menyelamatkan Siya, emang ga tau diuntung cewek yg satu ini. Hmm....

Siya yg berusaha berusaha menangkap mr. X berusaha melindungi salah satu incaran balas dendam mr. X bernama Tiwali dengan menyembunyikannya di sebuah klub malam. Ntah gimana caranya mr. X tahu lokasi dan ruangan tempat disembunyikannya Tiwali. Ketika film makin mendekati akhir cerita,  logika penonton dipaksa untuk menerima kemampuan kasat mata Raghu yg semakin membingungkan, di mana bisa menghilang dan muncul seenak jidat padahal jelas-jelas tidak ada lampu neon dan sina ultra violetnya yg mengenainya langsung...

Well, dua pertiga film ini alurnya mudah ditebak, karena banyak diisi dengan bumbu drama yg memang adalah jagoannya bollywood, plus sedikit twist untuk menyelamatkan filmnya di bagian ending, namun hal tersebut tidak dapat memulihkan logika penonton yg sudah terlanjur lelah. LoL.

~end of story~




20 April 2015

the unexpected ignorance of a true artist

Plasa Senayan XXI studio 7, 20 April 2015, 1700

Asli dah... film pemenang oscar ini telat banget diputer di sini, apalagi sebetulnya film ini diputar pertama kali di Amrik bulan Oktober 2014. But at least, empat dari delapan film nominasi Oscar 2015 berhasil masuk ke indo : American Sniper, Imitation Game, Whiplash (unfortunately i don't watch this one) dan Birdman tentunya.

Film ini disutradarai Alejandro Inarritu, wait... siapa sih Alejandro ini? tentunya bukan judul lagu Lady Gagak, LOL. Seinget gua, sempet menonton dua filmnya yg juga pernah masuk nominasi oscar yakni BABEL dan Amores perros yg di dalamnya menyajikan beberapa cerita. Jadi, Alejandro ini bukanlah sutradara kemarin sore yg baru aja menyutradai sebuah film.

Balik ke filmnya, Riggan Thomson (Michael Keaton) adalah aktor yg pernah populer di jamannya ketika dia pernah membintangi film action super-hero berjudul Birdman sampai tiga seri. Sekarang di usianya yg sudah 60 tahun, dia berusaha membangun citra diri sebagai seorang aktor sejati dengan memproduksi sebuah pertunjukkan broadway perdana di kota New York. Bahu membahu bersama sang sahabat yg cerewet Jake (Zach Galifianakis) dan anaknya, sekaligus asistennya, Sam (Emma Stone), Riggan berusaha mati-matian untuk yg terbaik demi menyelamatkan karirnya, termasuk ketika dia harus menemukan seorg aktor pembantu pengganti  yg diperankan oleh Edward Norton.
Digambarkan kalau Riggan ini punya alter ego yaitu dirinya sendiri berkostum "Birdman", yg selalu mempengaruhi pikirannya untuk kembali bermain film action superhero. Adegan demi adegan sempet mengecoh gua, awalnya gua berpikir kalau Riggan memang mempunyai kekuatan superhero, yg ternyata adalah imajinasi belaka.

Gua jarang melihat film-filmnya Michael Keaton, tapi aktingnya di film ini termasuk oke lah, meski ga wow banget. Sedangkan Edward Norton yg sudah sering mendapatkan penghargaan, gua melihat engga ada sesuatu yg baru di film ini dari segi aktingnya yg selalu terlihat serius.
Naomi Watts yg berperan sebagai Lssley, salah satu aktris panggung asuhan Riggan, terlihat lebai dalam banyak dialog yg menurut gua sama sekali ga relevan sama karakternya yg rada ga jelas. Rasanya ga perlu seorang Naomi Watts untuk karakter Lesley ini. Sayang sih, mengingat dia juga sering menjadi langganan nominasi di ajang penghargaan akting, meski jarang menang. Justru yg bikin gua surprise adalah akting Emma Stone yg terlihat kurus dengan mata be'lo nya yg keliatan hampir mau copot, cocok dengan karakternya yg baru keluar dari panti rehabilitasi narkoba. Pokoke beda banget ama aktingnya di film macem Amazing Spiderman. You go girl! No doubt, you could act!

Sebetulnya, gua kurang suka dengan penggambaran imajinasi pergulatan pikiran Riggan versus alter ego-nya. Namun film ini berhasil menggambarkan bahwa seorang aktor berbeda dengan selebritis. Dari beberapa dialognya, gua menangkap sepertinya film ini dibuat sebagai "sentilan" untuk para aktor aktris berbakat yg akhirnya "nyemplung" ke dalam film komersil bertemakan action super-hero. Mengingat semua film karya Alejandro adalah film non mainstream yg hanya bisa dinikmati oleh sebagian kecil orang. Bisa jadi, untuk sebagian besar penonton awam akan merasa Birdman adalah film yg pointless, dan cuman ngobrol-ngobrol ga jelas dari awal sampe akhir, dengan sedikit bumbu komedi satir yg engga lucu-lucu amat. Ngomong-ngomong soal ending, sebetulnya gua berharap sesuatu yg lebih dramatis terjadi pada tokoh utamanya.

Hal lain yang unik dari film ini adalah  scoring atau musiknya yg sangat minimalis, hanya terdengar suara biola dan tabuhan drum serta bass yg bertalu talu untuk menambah intensitas beberapa adegan, padahal adegan tersebut berasa biasa banget tanpa musik perkusi tersebut, yah mungkin itu gunanya scoring, hehehehe. Kemudian ada pengambilan gambar long-shot yg berputar plus dialog yg cukup panjang, tentunya hal ini sangat menguras kekuatan akting para bintangnya terutama dalam menghapalkan dialog, hahahaha..

Well, gua berasa film ini agak overrated sampai dianugrahi predikat best picture di ajang oscar lalu. Sebagai nominasi okelah, sepertinya masih ada film lain yg lebih pantas menyandang predikat best picture, imitation game yg dibuat berdasarkan tokoh nyata misalnya. Toh, meskipun film ini engga bisa dibilang "bagus sekali", namun berhasil memberi pesan, bukanlah hal yg mudah bagi seorang aktor, sutradara, atau siapapun yg terlibat dalam sebuah produksi untuk menjadi artis sejati. Diperlukan sebuah idealisme, komitmen, dan aktualitas. Lebih mudah menjadi seorang selebiritis, cukup dengan sebuah peristiwa sensasional, boom! dalam sekejap seseorang langsung bisa menjadi selebritis. Contohnya di negara ini, memang lebih banyak selebritis daripada artis sejati. Sebut saja artis (kalau memang layak disebut artis) yg suka mengumbar sensasi entah gaya rambut atau pengalaman jalan-jalannya, LOL...

~end of ignorance~

14 April 2015

coffee obsession

@Puri XXI studio 4, 14 April 2015, 1435

hello world, i am coming back for my blog!
Tadinya gua sama sekali ga kepikiran untuk ngelanjutin blog ini, sampe gua membaca dengan detil tag-line  poster film di atas "temukan dirimu di sini". Serasa ada kerinduan yg hilang dan kini muncul (dooh.. bahasanya).
Trus terang gua penasaran sama filmnya, meskipun gua bukan seorang penikmat kopi, karena masalah asam lambung, poor me huh! buat yg blum tau, kalau kopi, coklat dan teh itu mengandung asam yg cukup tinggi. Jadi, beruntunglah buat kalian yg masih bisa menikmatinya. Kemudian gua coba mengingat-ingat kembali kalau tahun lalu di Blitz sempat diputer sebuah film dokumenter tentang kopi indonesia. Yes, dari hasil google gua menemukan judulnya adalah "Aroma of Heaven". Ada yg bilang kalau negara kita tercinta adalah penghasil kopi terbesar ketiga setelah Brazil dan Vietnam. Sumber lain mengatakan nomor delapan. Baiklah, mau nomor tiga atau delapan, kita masih termasuk top ten kan? hehhee... dan yg patut digarisbawahi adalah penikmat kopi di indonesia tidak seproporsional dengan jumlah yang dihasilkan, apakah mungkin banyak penduduk indonesia yg mempunyai masalah lambung kayak gua? LOL... menurut sumber yg dipercaya, kopi kita banyak diekspor ke luar negeri, salah satunya adalah Amerika, ga heran banyak coffee shop di sana, dan salah satunya diimpor ke sini dengan logo putri duyung warna ijo itu, ironis juga yah... hmmm.. atau jangan-jangan coffee shop ikan duyung itu memakai kopi produksi indonesia? Hmm..... bisa aja kan...

Inuf said, kita balik ke filmnya. Film ini mungkin bisa dikategorikan tema kuliner kali ya? kecuali kalau kopi bukan termasuk kuliner. Ada beberapa istilah jenis kopi yg sempat disebutkan, seperti espresso, cappucino, kopi tubruk. Dan gua yakin, pastinya penggila kopi ngerti banget kalo ngomongin soal ini. Tapi film ini engga melulu ngomongin soal kopi koq, jadi film ini bukan tentang cara membuat kopi, atau mengajarkan anda menjadi seorang barista, hahahaha... banyak unsur drama yg diselipkan ke dalamnya, terutama hubungan anak dengan orang tua dan sosok seorang ayah.

Dilihat dari komposisi cast, gua pikir film ini udah oke, duet Chicco dan Rio sebagai sodara angkat (atau sahabat lebih tepatnya)  udah pas, ditambah dengan kehadiran si cantik Julie Estelle. Ngomong-ngomong tentang sodara, film ini berasa ada missing-link tentang gimana tokoh Ben (Chicco Jerikho) dan Jody (Rio Dewanto) bisa bertemu, di film ini cuman diceritakan kalau Ben di"adopsi", disekolahkan (atau apalah istilahnya) oleh almarhum ayah Jody sejak umur 12 tahun. Ga tau gimana caranya sang almarhum ayah Jody bisa menemukan sosok Ben yg tinggal di kampung.
Loncat dari titik tersebut, langsung diceritakan kalau Ben dan Jody mengelola sebuah kedai kopi bernama Filosofi Kopi. Jody yg keturunan tionghoa selalu berpatokan bahwa kedai mereka harus "cuan" (untung) untuk menutupi hutang bisnis mereka yg senilai 800 juta. Ya iyalah, siapa yg mau rugi berbisnis, kalo rugi mendingan tutup juga kan. Hal ini bertolak belakang dengan gaya Ben yg santai dan agak sedikit urakan mirip rocker. Sepertinya tokoh Ben memang sengaja ditampilkan seperti ini supaya terlihat kontras dengan tokoh Jody yg pemikir dan berpenampilan rapi. Ben seakan-akan ga mau perduli dengan utang bisnis mereka dan tetap optimis, akan tetap ada pelanggan yang benar-benar penikmat kopi akan datang terus ke kedai mereka sehingga bisnis mereka akan tetap berdiri! pe-de juga yak... bahkan Ben bersikeras tidak mau memasang wi-fi di kedai mereka karena prinsipnya tersebut. Hari gini, coffee shop ga pake wi-fi?? LoL

Alur crita film ini berjalan mulus-mulus aja, saking mulusnya gua berasa ga ada klimaks. Konflik yg ditampilkan memang ada, tapi berasa kurang nampol. Seperti adegan ketika Ben dan Jody bertengkar soal hutang bisnis kedai kopi mereka. Jody selalu bersikeras kalau dia lah yg punya andil terbesar dalam bisnis ini karena semua memakai modal dari keluarganya. Bahkan Jody mengungkit-ungkit kalau Ben disekolahkan oleh sang almarhum ayah Jody. Herannya Ben sama sekali ga marah, padahal dialog yg sama dilontarkan Jody sampai dua kali. Gua berharap mreka berantem sampe pukul-pukulan atau apa lah... Mungkin tokoh Ben adalah pecinta damai, hahahaha.. atau produser film ini tidak mau ada kekerasan antar kedua tokoh utamanya yah? Ohh...jangan lupa Chicco juga bertindak sebagai produser lhooo bersama dengan Glenn Fredly. Ini salah satu pendorong buat gua menonton film ini.

Nah, untung aja ada seorang pebisnis yg menantang Ben untuk membuat kopi dengan cita rasa terbaik yg pernah ada. Singkat kata Ben berhasil melakukannya dengan bantuan El (Julie) yang ternyata adalah seorang blogger kopi yg sedang menulis buku tentang kopi. Ternyata kopi terbaik yg pernah diicip oleh El adalah racikan pak Seno di kawasan Ijen, Dan hasil tantangan tersebut, duo Jody dan Ben mendapatkan uang satu milyar! yup, satu milyar, dipotong utang 800 juta, sisa dua ratus juta, dipakai untuk membantu salah satu karyawan mreka yg sedang mengalami musibah untuk operasi, dan tentu saja untuk membayar "royalti" kepada pak Seno yang ga jelas berapa besarnya...

Selain itu, ada dialog yg berasa mengganggu seperti curhatan-curhatan El kepada Jody yg menurut gua sih bisa diedit lagi atau dihilangkan saja. Toh ga ada gunanya juga, di bagian awal digambarkan sepertinya El adalah love-interest nya Jody namun ternyata di ending cerita...hmmm... i can't tell, it would be spoiler, hahahahaha....

Ga bisa disangkal film ini mempunyai pengambilan gambar yg indah dengan iringan komposisi lagu yg easy listening menjadikannya sebuah feel-good movie.

Ending film ini agak berasa ga jelas, karena Jody, Ben, beserta tiga karyawan mereka pergi keliling indonesia dengan sisa duit yg ada (emang ada sisa yak?) untuk mempromosikan filosofi kopi dengan middle-bus dua tingkat yg dibeli oleh Jody. Ga jelas dengan modal dari mana, hmmm..mungkin dr modal hasil penjualan kedai mereka. Yup, Jody menjual kedai mereka... untuk membiayai perjalanan mreka keliling indonesia berlima! Belum lagi, salah satu karyawan perempuannya ikut mereka keliling indonesia padahal suaminya baru mengalami kecelakaan. Ya sudahlah, terserah mereka mau ngapain. Kalaupun dana mereka tidak cukup, engga usah kuatir karena kopi Torabika menjadi sponsor dari film ini, hahahaha....

seperti yg gua tulis di atas, film ini tidak melulu tentang kopi. di mana cita rasa kopi terbaik tidak hanya bergantung pada si peracik, tapi semua juga berawal dari ketika kopi itu ditanam... Menanam kopi harus dengan rasa cinta, diolah dengan sebuah keahlian dan terciptalah secangkir kopi yg nikmat.... begitu pula dengan hidup.. semua yg kita kerjakan harus dengan rasa cinta yg datang dari hati. Yg terpenting lagi, sebagaimana pun nikmatnya secangkir kopi, pasti ada rasa pahit di dalamnya yang tidak dapat disembunyikan, seperti masa lalu yg mungkin terasa pahit.. yg bisa kita lakukan adalah berdamai dengan masa lalu itu.
 

~end of story~