24 Juni 2010

Tanah Air Beta : Sebuah idealisme tanpa rasa nasionalisme

@Karawaci 21, studio 2, Jun 23rd 2010, 1845 hrs

Tatiana (Alexandra Gottardo) terpisah dengan anak pertamanya, Mauro (Marcel Raymond), saat terjadi kekacauan pasca jajak pendapat 30 Agustus 1999. Akibatnya Mauro masih tinggal di Timor Leste bersama pamannya, sedangkan Tatiana bersama anak perempuannya Merry berhasil mengungsi ke NTT dan tinggal di kamp pengungsian. Di sana Tatiana bersahabat dengan Abubakar (Asrul Dahlan) sekaligus mengajar anak-anak pengungsi, salah satunya bernama Carlo. Carlo anak yg iseng dan jahil sering menggangu Merry (Griffit Patricia) pada saat pelajaran. Pada dasarnya, Carlo adalah anak yg kurang perhatian karena sudah ditinggal keluarganya.
Setelah keadaan mereda, Tatiana bersama Abubakar naik motor ke perbatasan Motain (antara NTT-Timor Leste) untuk mencari Mauro dengan menitip pesan melalui relawan (Lukman Sardi) yg bertugas di sana.
Melalui pesan relawan diketahui kalau Mauro masi hidup namun hanya mau bertemu dengan Merry, tapi tidak dengan Tatiana yg telah meninggalkannya, .
Merry yg mengetahui hal tersebut pun pergi seorang diri meninggalkan kamp pengungsi menuju ke perbatasan untuk menemui Mauro. Tatiana yg sedang sakit ditemani oleh Abubakar menyuruh Carlo mencari Merry. Di sinilah perjalanan mereka dimulai menuju ke perbatasan menemui Mauro....

Sebuah cerita yg sangat sederhana dengan jumlah pemain yg minim. Seperti halnya film Denias dan KING, cinematografi film ini juga menjadi unsur yg penting. Kamera menangkap alam NTT yg tandus dan gersang, namun masih menyimpan sejuta harapan. Anak-anak pengungsi ditampilkan seadanya. Bahkan demi perannya di film ini, Alexandra Gottardo harus merelakan kulitnya "dihitamkan" dan mempelajari dialek bahasa NTT. Gua pribadi kurang suka melihat raut wajah tokoh Merry yg murung terus, apa ga ada anak perempuan lain yg lebih enak dilihat yah?? Belum lagi dialog yg keluar dari mulutnya terasa kaku. Meskipun akting Griffit dan Alexandra kaga jelek-jelek amat tapi gua merasa tidak ada emosi yg terpancar dari karakter mereka. Penonton tidak dapat bersimpati atas kesedihan yg dialami. Justru akting yg bagus dan natural adalah pemeran Carlo. Kepolosan dan bumbu jenaka disuguhkan melalui karakter yg satu ini, juga Abubakar.
Namun film ini tidak lepas dari sedikit kejanggalan seperti penampilan Robby Temewu dan Thessa Kaunang sebagai engkoh dan encik Rin, pasangan Tionghoa yg membuka toko kelontong di daerah kamp pengungsi. Koq bisa ada satu toko segede itu di daerah kamp pengungsi, ada yg beli gitu?? pastinya barang-barang yg dijual udah expired semua karena ga laku. Yg jelas peran mereka berdua tidak terlalu penting penting. Lukman Sardi (bosen ngeliat aktor satu ini yg muncul dengan secuil peran di banyak film) sebagai relawan juga ga penting sih, mungkin supaya film ini dipenuhi aktor-aktris terkenal untuk menarik penonton.
Kontinuitas setting terasa tidak nyambung, di mana Merry diperlihatkan selalu berlari-larian dari satu tempat ke tempat lain mulai dari kamp pengungsi, sungai tempat anak-anak bermain, toko kelontong, puskesmas dan pantai.
Bahkan sangat tidak masuk akal ketika Abubakar menyuruh Carlo mencari Tatiana sampai ke perbatasan, tanpa diberi uang sepeser pun apalagi makanan atau minuman. Emangnya deket?? Sehingga Carlo harus berjalan kaki dan berlari-larian tanpa makanan dan minuman, dan hebatnya dia tampak sehat-sehat saja ketika menemukan Merry yg pingsan! Sekedar informasi, padahal Merry dibekali sebatang coklat dan sebotol minuman (yg tidak ada merk-nya karena tidak menjadi sponsor film ini) dan uang celengannya untuk ongkos transport.
Adegan pertemuan antara Merry dan Mauro pun terlihat kaku dan aneh..... apalagi kumpulan para pengungsi yg sedang bertemu dengan keluarganya, terlihat tidak natural.

Ari Sihasale sebagai sutradara sekaligus produser bersama sang istri Nia Zulkarnain (di bawah Alenia pictures) memang sudah berjanji untuk tidak memasukkan unsur politis ke dalam film ini. Sepertinya itu menjadi bumerang tersendiri, mengingat judulnya tersirat semangat nasionalisme, tapi isinya hanya sebuah drama "road trip". Akhirnya kata-kata "tanah air beta" hanya menjadi bagian dari nyanyian penutup yang dilantunkan oleh juara Idol Mike Mohede.
Mungkin film ini lebih pantas diberi judul "Perjalanan menuju perbatasan" atau "Kutemui kakakku di perbatasan". Dibandingkan alur cerita film KING yg merupakan debut penyutradaraan Ale, film ini terlihat lebih kalem dan datar. Bisa jadi ada penonton yg tertidur ketika menyaksikannya.
Tapi gimanapun juga, film ini berhasil menyampaikan misinya kalau ikatan kekeluargaan, memang tidak dapat dipisahkan dan tentunya.... jangan lupa cuci tangan Anda sebelum makan! Begitu pesan dari sponsor sabun mandi yg satu itu!
Buat anak-anak di luar sana jangan pernah meniru adegan tolol di film ini, di mana Carlo mengisi botol minuman plastik yg kosong dengan air panas sampai botolnya penyett.... dan meminumnya dari sana. Air itu telah terkontaminasi dan beracun oleh bahan kimia dari botol plastik tersebut!!!

Obrigado = terima kasih (bahasa Portugis)

5.5 out 10 stars...

N.B : setau gua kata "beta" itu berasal dari Ambon (Maluku), ini kan NTT?? Apakah bahasa origin Maluku dan NTT sama?

Tidak ada komentar: